Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

Komisi I DPRD Bali Terima KEPET Desa Adat Jimbaran Terkait Pelaba Pura

Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, Komang Nova Sewi Putra bersama Ketua Komisi I DPRD Bali Nyoman Budi Utama beserta sejumlah anggota yaitu Ketut Tama Tenaya, Dewa Rai Budiasa, serta Gede Harja menerima rombongan Kesatuan Penyelamat Tanah (KEPET) Desa Adat Jimbaran bersama ratusan krama, Senin (3/2/2025) di wantilan DPRD Bali. (foto/ist)

Denpasar, PorosBali.com- Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, Komang Nova Sewi Putra bersama Ketua Komisi I DPRD Bali Nyoman Budi Utama beserta sejumlah anggota yaitu Ketut Tama Tenaya, Dewa Rai Budiasa, serta Gede Harja menerima rombongan Kesatuan Penyelamat Tanah (KEPET) Desa Adat Jimbaran bersama ratusan krama, Senin (3/2/2025) di wantilan DPRD Bali.

Para wakil rakyat tersebut didampingi oleh Plt. Sekwan Gusti Ngurah Wiryanata bersama perwakilan OPD terkait.

Di hadapan wakil rakyat Provinsi Bali itu, rombongan KEPET mengadukan soal tanah pelaba Pura Ulun Suwi di Desa Adat Jimbaran yang luasnya sekitar 20 hektar “diambilalih” oleh pihak investor. 

Nyoman Tekat, salah seorang tokoh Jimbaran mengungkapkan, sebelum Indonesia merdeka, warga sudah menjadi penggarap tanah-tanah tersebut. Waktunya sudah berpuluh-puluh tahun sejak Kerajaan Mengwi. Tanah-tanah tersebut warisan dari Kerajaan Mengwi untuk pelaba Pura Ulun Suwi. “Tanah tersebut digarap warga, kemudian hasilnya dibagi untuk kepentingan pura berupa palawija,” tegas mantan anggota DPRD Badung tersebut.

Tekat juga mengatakan setiap "aci" (persembahan), krama dikenakan uran (urunan) berupa ayam untuk tabuh rah di Pura Ulun Suwi. Seiring waktu, hasil bumi tak lagi mencukupi untuk biaya "aci" sehingga akhirnya sistem pun diubah dengan sistem penglagan. “Penyakap membayar iuran antara Rp 2.500 hingga Rp 7.000 (nilai waktu itu, red) per garapan yang luasnya 1 hingga 5 hektar,” tegasnya.

Seiring berjalan waktu, setelah merdeka, tanah tersebut dikuasai oleh negara dan pada tahun 1994-1995 terjadi penggusuran massal. “Saat itu, pendidikan warga sangat kurang sehingga tidak tahu ke mana harus mengadu. Tanah diambilalih aparat dan pembebasannya kurang manusiawi dan tanah itu wajib diserahkan ke PT CTS,” ungkapnya.

Baca Juga: DPRD Bali Rapat Kolaborasi Multisektor Bahas Tantangan dan Peluang Pariwisata

Beranjak dari permasalahan tersebut, warga berkumpul untuk menyatukan visi sehingga harapannya tanah bisa kembali kepada desa adat dan penggarap. Setelah berkoordinasi dengan bendesa adat dan tim hukum, pihaknya melakukan "class action" ke PN Denpasar dan melakukan audiensi ke Kejaksaan Tinggi Bali dengan bukti-bukti untuk dikaji.

Bendesa Adat Jimbaran yang juga hadir pada acara tersebut mengungkapkan, Pura Ulun Suwi berstatus sebagai kahyangan jagat. Sebagai pura kahyangan jagat, Pura Ulun Suwi memiliki sanan atau pelaba pura sekitar 25 hektar.

Jero Bendesa mengatakan saat pengambilan tanah tersebut, desa adat memperoleh petitis sebesar Rp 35 juta saja. Saat itu, harga tanah Rp 7 juta per are. Sebagai bendesa adat, dia mengaku sangat kecewa karena dari PT CTS tanah-tanah tersebut kemudian dialihkan ke PT Jimbaran Hijau. “Hak guna berlaku 25 tahun dan sudah berakhir, namun kecewa karena ternyata sudah ada perpanjangan lagi. Saat ini PT Jimbaran Hijau menguasai lahan sekitar 200 hektar lebih,” ujarnya.

Kini, walaupun tak ada pelaba pura, piodalan di Pura Ulun Suwi tetap berjalan. Setiap piodalan memerlukan anggaran hingga Rp 300 juta dan ini menjadi tanggungan atau beban krama. Dengan diambilnya tanah tersebut, dia menegaskan, sekitar 200 KK warga Jimbaran tak memiliki tempat tinggal. “Karena itulah, kami berharap tanah-tanah tersebut bisa kembali,” ungkapnya.

Ketua Komisi I DPRD Bali Nyoman Budi Utama meminta tim hukum dan warga Jimbaran melengkapi bukti-bukti pendukung. “Kami pastikan akan menindaklanjuti kasus ini. Kalau memang terbukti, ya kami mendukung tanah tersebut kembali ke desa adat untuk mendukung eksistensi desa adat,” tegasnya. (pbm1)


TAGS :

Komentar