Pria Dharsana: 'Hak Tanah Tak Hilang, Ini Harus Dilakukan WNI Ketika Menikah Dengan WNA'
Denpasar, PorosBali.com- Apa harus dilakukan Warga Negara Indonesia (WNI) ketika melakukan perkawinan atau menikah campuran dengan Warga Negara Asing (WNA) agar kepemilikan hak milik atas tanah tidak hilang dan masih tetap bisa memiliki hak milik secara legal ?
Sementara, UU Pokok-Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, Pasal 21 ayat (1) menyebut, hanya WNI dapat mempunyai hak milik. Sedang pada ayat (3) mengatakan bahwa orang asing setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan. Demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraan wajib melepaskan hak milik dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak.
Jika tidak dilepaskan maka hak miliknya terhapus karena hukum jatuh kepada negara. Dan jika ada hak- hak lain yang membebani tetap berlaku. Artinya, bahwa ketika melakukan perkawinan campuran hanya boleh memiliki hak pakai atas tanah di Indonesia dan ketika WNI menikah atau kawin dengan WNA tidak bisa memiliki hak milik.
Dr. I Made Pria Dharsana, SH., M.Hum selaku Koordinator Dewan Pakar Ikatan Notaris Indonesia (INI) menyampaikan, tidak ada satu peraturan dan undang-undang yang memaksa seseorang untuk kawin atau menikah. Akan tetapi, jika seorang telah melakukan perkawinan, maka bagi orang-orang bersangkutan diletakan hak dan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 tahun 1974.
Menyinggung adanya perkawinan campuran jika WNI ingin memiliki rumah berstatus hak milik atau hak guna bangunan secara legal menurut Pria Dharsana itu bisa dilakukan. Sepanjang mereka membuat perjanjian kawin pisah harta sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
"Kalau dulu sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.69/PUU/XII/2015 itu perjanjian perkawinan harus dilakukan sebelum perkawinan baru dianggap sah. Sekarang boleh pada saat perkawinan, sebelum perkawinan dan setelah perkawinan. Artinya apa, ketentuan pasal 21 undang-undang pokok agraria asas Nasionalis atas Tanah Hak Milikn juga tidak disimpangi. Itu saja kuncinya," jelas Pria Dharsana kepada wartawan di Denpasar Bali, Minggu (26/12/2021)
Notaris Pria Dharsana yang juga Dosen Fak Hukum Universitas Warmadewa Bali ini menjelaskan, ketentuan norma aquo membuat setiap WNI yang menikah dengan WNA selama tidak ada perjanjian pemisahan harta tidak bisa memiliki rumah berstatus hak milik atau hak guna bangunan.
Bicara soal perkawinan campuran bisa mulai dengan pasal 57 dalam Undang-Undang Perkawinan. Antara dua orang tunduk pada hukum berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak adalah warga Indonesia.
"Jika dalam perkawinan campuran suatu hari terjadi perceraian atau keduanya dipisahkan oleh kematian maka sudah menjadi keributan antara kedua belah pihak. Pada dasarnya akan membela serta melindungi hak dan kewajiban sebagai suami dan istri sehingga saat menikah itu tidak main-main, penting sekali ada perjanjian kawin," sebutnya.
Adanya putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, bagi WNI melakukan perkawinan campuran belum memiliki perjanjian pemisahan harta disarankan dapat mengajukan perjanjian tertulis disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris yang mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga terkait. Dan perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ada ketentuan lain.
Lanjut kata Pria Dharsana, dalam perkawinan campuran jika dipandang dari sudut hukum tidak dapat dilangsungkan sebelum syarat-syarat perkawinan masing-masing pihak telah dipenuhi. Tidak ada rintangan ketika syarat telah terpenuhi perkawinan campuran secara hukum dapat berjalan dan masing-masing berwenang diberikan surat keterangan.
Namun jika perjanjian perkawinan hanya sampai pada pengesahan Notaris saja dan tidak didaftarkan kepada instansi penyelenggara, seperti Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), isinya tidak mampu untuk dipaksakan pmberlakuan nya kepada pihak ketiga dan perjanjian itu dianggap tidak sah jika terjadi gugatan dalam pengadilan.
"Perjanjian kawin dibuat ini harus diumumkan dalam media agar memberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang terkait. Mungkin punya kredit bank atau perjanjian lain menyangkut harta yang dipunyai. Agar kredit bank dibuat tidak kehilangan hak tagih karena setiap perjanjian perkawinan dibuat tidak boleh merugikan pihak ketiga," bebernya.
Dengan demikian siapapun yang akan dan telah melangsungkan perkawinan campuran jika ingin tetap memperoleh Hak Milik atas Tanah di Indonesia harus tunduk pada UUPA Nomor 5 tahun 1960. (Pbm6)
Komentar