Bali Berpotensi Mandiri Energi Bersih, IESR Dorong Pemanfaatan PLTS Atap
- 05 Maret 2021
- Info & Peristiwa
- Denpasar
Denpasar, PorosBali.com- Bali memiliki potensi besar untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) tenaga surya. Potensi itu juga didukung oleh regulasi Peraturan Gubernur Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih.
‘’Dengan memanfaatkan energi bersih terbarukan akan memperkuat posisi Bali sebagai tujuan pariwisata yang ramah lingkungan, yang kita harapkan bisa menaikkan daya tawar maupun daya tarik Bali terhadap wisatawan lokal dan mancanegara,’’ kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat acara temu media, kerjasama antara CORE Udayana dan IESR, yang juga menghadirkan Kepala CORE Udayana Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, Ph.D., di Denpasar, Jumat (5/3).
Lebih lanjut Fabby Tumiwa mengatakan, potensi penggunaan EBTB di Bali bisa tercapai lebih tinggi dari target 11 persen di tahun 2025.
Menurutnya ketersediaan listrik di Bali sebesar 1200 MW dengan kebutuhan optimal 920 MW. Pihaknya melakukan kajian bahwa dengan mengembangkan PLTS Atap, energi mandiri yang tersedia mampu mencapai 26000 MW atau 24 kali lebih besar.
Meski demikian pihaknya tak menampik, pembiayaan awal untuk PLTS Atap cukup tinggi. Namun, itu menjadi investasi jangka panjang yang mampu menekan biaya operasional kebutuhan energi. Fabby mengatakan, usia pakai solar cell mencapai 25-30 tahun dengan investasi maksimal selama 10 tahun.
“Setelah investasi kembali selama 10 tahun, 20 tahun berikutnya, praktis listrik yang dihasilkan gratis. Jadi kalau kita lihat, selama kurun waktu 25 tahun, atau 30 tahun, maka harga listrik PLTS atap jauh lebih murah dari pembangkit manapun,” ujarnya.
Untuk mencapai hal itu, kata Fabby, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, kalangan swasta dan masyarakat. Menurutnya, Pergub Bali Nomor 45 Tahun 2019 telah memandatkan, bahwa 20 persen dari bangunan seluas 500 m2 menggunakan panel surya.
Sinergi antara pemerintah, masyarakat dan kalangan swasta, kata Fabby, akan mempercepat tujuan mewujudkan energi bersih di Bali.
“Dalam kondisi seperti ini perlu kepastian. Artinya, Pergub itu perlu dilaksanakan dengan roadmap yang jelas, sehingga Gubernur bisa tahu, PLN juga bisa tahu,” ujarnya.
Di sisi lain, ia melihat Perusahaan Listrik Negara (PLN) kooperatif dengan rencana pengembangan PLTS Atap di Bali. Dengan pasokan EBT yang besar, PLN sebenarnya juga diuntungkan karena penurunan biaya produksi listrik. Dengan begitu, biaya sistem akan turun.
“Saya kira PLN cukup positif merespons ini. Perencanaan ini juga harus disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul,” kata Fabby.
Fabby menagatakan sebelum pandemi pasokan listrik Bali mencapai 900 MW dan ketika pandemi beban puncaknya turun sampai 35 persen. Beban energinya turun karena aktivitas ekonomi tak banyak berjalan khususnya di sektor pariwisata seperti hotel, restoran dan pertokoan.
Kalau dilihat kebutuhan listrik ke depan setelah pandemi, Faby memperkirakan bisa naik 1.000 MW, dimana diusulkan terpenuhi melalui interkoneksi Jawa-Bali, juga dengan target pengembangan energi surya sebesar 50 MW pada tahun 2025 sesuai Rancangan Umum Energi Daerah Bali. Namun, kalau Bali memiliki lebih banyak pembangkit listrik terdistribusi, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik Atap (PLTS Atap) maka ini merupakan sesuatu yang mix untuk mengamankan ketersediaan pasokan listrik di Bali. PLTS Atap dapat berkontribusi secara signifikan.
Fabby Tumiwa mengimbuhkan, Institute for Essential Service Reform (IESR) merupakan sebuah lembaga riset dan advokasi yang berlokasi di Jakarta dan bergerak dalam 4 isu besar yakni transformasi sistem energi, akses energi berkelanjutan, ekonomi hijau, dan mobilisasi berkelanjutan.
‘’Dalam salah satu fokus kerja kami melalui program akses energi berkelanjutan, sejak tahun 2019 IESR aktif melakukan kajian terkait pemanfaatan energi bersih, khususnya melalui teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik Atap (PLTS Atap) di Provinsi Bali.
Sementara itu, Kepala CORE Udayana Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, Ph.D. mengatakan, Bali memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar seperti panas bumi dan air yang banyak digunakan ke hotel-hotel. Karena pengembangan energi panas bumi bisa terjadi gesekan, maka pembangkit listrik tenaga surya sangat berpotensi untuk dikembangkan. Dengan lahan Bali yang cukup mahal maka atap menjadi pengembangan potensi paling penting, cepat dan target cepat tercapai.
PLTS atap sangat tepat digunakan pada yang jam operasionalnya siang hari seperti sekolah-sekolah, perkantoran. Demikian pula sektor pariwisata yang di saat pandemi menurunkan daya listrik dan ketika pandemi berakhir dan pariwisata kembali pulih maka jika menaikkan daya listrik akan lebih baik berinvestasi di PLTS. (Pbm5)
Komentar