Mahasiswa Jepang Kagumi Kelestarian Sawah di Subak Jatiluwih
- 06 September 2023
- Pendidikan
- Tabanan
Tabanan, PorosBali.com- Program Studi Magister Bioteknologi Universitas Udayana bekerja sama dengan Universitas Meiji, Jepang, Selasa (5/9) menyelenggarakan pengabdian masyarakat di Subak Jatiluwih, Tabanan. Pemandangan alam yang indah berupa hamparan sawah yang indah membuat mahasiswa Jepang yang berpartisipasi dalam pengebdian masyarakat tersebut. “Bagaimana warga di sini melestarikan sawah seperti ini. Kalau di negara saya keindahan alam seperti ini sangat sulit dipertahankan,” kata Miharu Shimoyama.
Pertanyaan mahasiswa Jepang dijawab antusias oleh Wayan Suwiarka, seorang petani sekaligus pengelola DTW Jatiluwih. “Petani adalah profesi kami di sini, maka sawah sumber penghidupan. Jadi sawah harus tetap ada. Di samping itu, ada aturan dari pemerintah agar sawah tetap abadi dan tidak boleh dialihfungsikan,” tutur Suwiarka yang juga Asisten Manajer DTW Jatiluwih itu.
Mendapat jawaban itu mahasiswa Jepang lainnya Naokazu Harada menggali pandangan petani terkait aktivitas pariwisata. “Menurut bapak, aktivitas pariwisata di sini positif apa negatif?” tegas Harada penuh selidik.
Kelian Subak Jatiluwih I Wayan Mustra menuturkan, aktivitas pariwisata menjadi sumber pendapatan tambahan sehingga petani merasakan manfaat positif. Mustra mengakui ada dampak negatif yakni meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat usaha sehingga sawah sangat rentan dialihfungsikan. Syukurnya, kata Mustra, penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia diikuti kesadaran masyarakat untuk melestarikan sawah sehingga alih fungsi sawah dapat diminimalkan.
Kegiatan yang bertajuk “Sustainable innovation to support rice production” itu dihadiri 30 peserta dari kalangan mahasiswa dan dosen dari kedua universitas maupun petani setempat. Ada tujuh mahasiswa dari Universitas Meiji Jepang hadir dan berdialog dengan petani setempat. Mereka itu antara lain Takumi Kambayashi, Risa Konda, Mutsumi Ikeda, Marina Okazaki, Rihito Yamagata, Miharu Shimoyama, dan Naokazu Harada
Ketua S2 Bioteknologi Pertanian Dr. GN Alit Susanta Wirya, SP, M.Agr hadir bersama Guru Besar FP Unud Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc, I Putu Sudiarta, Ph.D dan Dewa Gede Wiryangga Selangga, SP, M.Si, berbagi pengalaman tentang budi daya organik. Prof. Dewa Suprapta yang memperkenalkan produk obat-obatan nabati berupa zat penyubur akaran tanaman dengan merek dagang “Egary”. “Produk ini belum dijual di pasaran, namun sudah kami uji coba di 5 kabupaten di Bali,” tuturnya.
Baca juga: Para Pemimpin ASEAN Apresiasi Capaian Keketuaan Indonesia di Tengah Situasi Sulit
Diceritakan, Egary sudah diaplikasikan dalam tanaman padi di Kecamatan Abiansemal, Badung dan di Kabupaten Buleleng. Kendati diterapkan pada budi daya padi di sawah yang kurang subur, hasilnya cukup melegakan bagi petani. Produksi beras, katanya, yang dihasilkan petani di lahannya naik menjadi 2 x lipat alias 100% daripada sebelum mengaplikasikan Egary.
Prof. Dewa Suprapta pun mendemonstrasikan perlakuan dalam pemakian Egary pada pembenihan padi. Padi yang telah dieram selama dua malam dan sudah ada tanda-tanda bertumbuh atau ngecai dalam bahasa Bali. Sebelum disemai di petakan sawah tempat pembenihan direndam selama 30 menit dengan Egary.
“Sebelum semai benih padi, air bekas rendaman itu disiramkan di bedengan untuk penyemaian benih padi. Jika ini dilakukan niscaya benih akan tumbuh subur dan dalam jangka waktu 15 hari sudah bisa dicabut untuk ditanam,” paparnya panjang lebar.
Sementara itu akademisi Jepang Dr. Fumitaka Shiotsu memperkenalkan teknologi ratoon-rice atau salibu (salin ibu). Teknologi ini berupa merawat akar tanaman padi setelah panen, sehingga petani bisa berproduksi kembali tanpa harus melakukan proses penanaman sejak awal (mulai penyiapan lahan dan pembenihan). “Keuntungannya, waktu panen lebih cepat,” Dr. Pumitaka. Petani yang hadir sangat antusias mengikuti kegiatan pengabdian itu. Di akhir acara diserahkan bingkisan Egary dan yang lainnya oleh panitia pengabdian kepada petani. (pbm5)
Komentar