Tata Cara “Meras Sentana”
- 19 Juli 2022
- Pendidikan
- Denpasar
PorosBali.com- Sentana (Bahasa Bali-red) berarti “anak” (Bahasa Indonesia-red). Peras adalah salah satu jenis sarana upacara dalam agama Hindu. Meras sentana berarti mengangkat anak. Pengangkatan anak sah menurut Hukum Adat Bali sesudah adanya upacara peperasan. Itulah sebabnya anak angkat di Bali disebut sentana paperasan.
Meras sentana (mengangkat anak) merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan suami istri yang tidak memiliki anak atau keturunan. Keturunan perlu untuk melanjutkan swadharma (tanggung jawab) terhadap keluarga dan juga tanggung jawab terhadap Desa Adat di Bali. Swadharma terhadap keluarga dan Desa Adat di Bali meliputi swadharma terhadap parahyangan, swadharma terhadap pawongan, dan swadharma terhadap palemahan.
Keluarga yang tidak memiliki kerutunan dikenal dengan sebutan putung (habis). Dalam keadaan putung berarti ketiga swadharma tersebut di atas tidak ada yang melanjutkan dan akan dilanjutkan oleh keluarga terdekat dalam garis kapurusa atau ayah. Apabila demikian adanya, maka segala swadikara (hak) yang berhubungan dengan tanggung jawab tersebut akan dinikmati oleh pihak yang melaksanakan swadharma. Itulah sebabnya penting memiliki keturunan. Apabila keturunan langsung (anak kandung) tidak ada dapat diusahakan dengan meras sentana. Guna menjamin proses meras sentana berjalan dengan sebagaimana mestinya, perlu memiliki pengetahuan dasar tentang tata cara meras sentana. Pengetahuan dasar yang dimaksud seperti diuraikan secara singkat di bawah ini
Ada dua jenis pengangkatan anak, yaitu: (1) Pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Perundangundangan. (2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat. (Pasal 39 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Pasal 2 PP RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak). Dimaksud “pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat” dalam artikel singkat ini adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh umat Hindu berdasarkan Hukum Adat Bali atau meras sentana.
Pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Perundangundangan relatif lebih gampang karena tinggal mengikuti ketentuan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Yang agak repot, “pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat”, dalam hal ini pengangkatan anak berdasarkan Hukum Adat Bali atau meras sentana. Disebut agak repot antara lain karena:
Pertama, tidak semua anak dapat diangkat anak (kaperas sentana). Memperhatikan beberapa sumber Hukum Adat Bali seperti ketentuan Pasal 11 Paswara 13 Oktober 1900 dan/atau awig-awig Desa Adat di Bali bahwa calon anak angkat harus beragama Hindu dan berasal dari garis keturunan purusha (ayah atau suami). Apabila tidak ditemukan dari keturunan purusha, maka calon anak angkat dapat diusahakan dari garis keturunan pradana (ibu atau istri). Jika dari dua garis keturunan tersebut tidak ditemukan calon anak angkat, barulah dapat diusahakan dari sekama-kama (dari mana saja termasuk anak telantar).
Kedua, ada persyaratan soroh, agama, dan upacara peperasan, sebelum dimohonkan penetapan Pengadilan. Kalau soroh calon anak angkat tidak sama dengan calon orang tua angkat, keluarga sedarah atau saudara kandung (tugelan) akan keberatan. Apabila agamanya tidak jelas (ke-Hindu-annya diragukan) Desa Adat tempat calon orang tua angkat mipil (terdaftar sebagai krama desa), akan keberatan. Selain itu upacara peperasan (meras sentana) hendaknya dilaksanakan dengan cara yang patut. Berdasarkan beberapa yurisprudensi seperti Putusan Mahkamah Agung No. 696K/Sip/1973 dapat diketahui bahwa sahnya pengangkatan anak menurut Hukum Adat Bali sesudah adanya upacara pemerasan yang dipimpin oleh pemuka agama Hindu dan disaksikan oleh prajuru adat (pengurus Desa Adat).
Walaupun tidak mutlak harus ada, tetapi penetapan Pengadilan penting diusahakan sejalan dengan Pasal 9 ayat (2) PP No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang menentukan bahwa “pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan”. Penetapan Pengadilan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dikemudian hari bahwa pengangkatan anak (meras sentana) telah dilaksanakan secara sah menurut Hukum Adat Bali.
Oleh:
I Gede Pasek Pramana
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
Komentar