Media Berita Online Bali Terkini, Kabar Terbaru Bali - Beritabali.com

Harmoko, Menteri Penerangan Era Orde Baru Meninggal Dunia

Alm. H. Harmoko

Jakarta, PorosBali.com- Mantan Menteri Penerangan zaman Orde Baru (Orba) dan mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dilaporkan telah meninggal dunia. Kabar duka tersebut disampaikan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali Emanuel Dewata Oja melalui group whatsapp (WA) SMSI Bali, Minggu (5/07/2021) malam.

“Berita duka. Mantan ketua MPR RI Bapak Harmoko berpulang Minggu 4 juli 2021 pkl 20.30 WIB malam ini,” demikian tulis pria yang akrab disapa Edo ini.

H. Harmoko bin Asmoprawiro menurut Edo yang juga Direktur Operasional media online Poskotabali.co.id ini meninggal dalam perawatan medis akibat penyakit yang dideritanya di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.

H. Harmoko lahir di Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 7 Februari 1939, menghembuskan nafas terakhir di usia 82 tahun.

Suami dari Sri Romadhiyati merupakan politisi Indonesia yang pernah menduduki sejumlah jabatan, seperti Menteri Penerangan Indonesia periode 1983-1997 di era Presiden Soeharto.

Harmoko selanjutnya menjabat sebagai Ketua MPR RI periode 1997-1999 di era pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Usul PWI

Dikutip dari jpnn.com, dikisahkan Senin, 4 Desember 1978 sekitar pukul 07.00 WIB Presiden Soeharto meninggalkan Jakarta menuju Padang untuk menghadiri pembukaan kongres ke 16 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Dalam kongres yang berlangsung hingga 7 Desember itulah tercetus gagasan menjadikan hari lahir PWI, 9 Februari 1946 jadi Hari Pers Nasional.

Ketika itu Ketua PWI Pusat dijabat Harmoko.

Soeharto, sebagai orang nomor satu di negeri ini kala itu, belum ambil pusing. Sementara waktu, gagasan PWI tinggallah gagasan.

 

Peranan Harmoko

Harmoko menjabat Ketua PWI selama dua periode, yakni hingga 1983.

Setelah itu, berkat hubungan baik dengan Soeharto, dia diangkat jadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Pembangunan VI.

Dalam mengampuh jabatan Menteri Penerangan, Harmoko tak lupa gagasan yang pernah dicetuskan PWI saat kongres di Padang; Hari Pers Nasional.

Nah, di samping menggerakan Kelompencapir–kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa–(“generasi TVRI” pasti tahu ini), Harmoko kembali memperjuangkan angan organisasi yang pernah dipimpinnya.

Mula-mula, melalui Peraturan Menteri Penerangan No. 2/1984, Harmoko menyatakan PWI satu-satunya organisasi wartawan yang boleh hidup di Indonesia.

Jadilah PWI wadah tunggal.

Sejurus kemudian, barulah apa yang dicita-citakan Harmoko berhasil.

Melalui Surat Keputusan Presiden No.5/1985, Soeharto mengabulkan usul yang pernah mengambang selama tujuh tahun itu; 9 Februari, hari lahir PWI ditetapkan menjadi Hari Pers Nasional, biasa disingkat HPN.

Riwayat Pekerjaan

Jauh sebelum itu, pada permulaan tahun 1960-an, setelah Harmoko lulus dari Sekolah Menengah Atas, ia bekerja sebagai wartawan dan juga kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka. Pada tahun 1964 ia bekerja juga sebagai wartawan di Harian Angkatan Bersenjata, dan kemudian Harian API pada 1965. Pada saat yang sama, ia menjabat pula sebagai pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko (1965). Pada tahun berikutnya (1966-1968), ia menjabat sebagai pemimpin dan penanggung jawab Harian Mimbar Kita. Pada tahun 1970, bersama beberapa temannya, ia menerbitkan harian Pos Kota.

Kemudian almarhum pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golongan Karya tahun 1983-1997.
Di tahun 1966-1968, Harmoko menjadi pemimpin Harian Mimbar Kita. Selang dua tahun kemudian, ia kemudian menerbitkan harian Pos Kota tahun 1970. Harmoko juga pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.

Karier Politik

Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko mencetuskan gerakan Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan) yang dimaksudkan sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah. Harmoko pun dinilai berhasil memengaruhi hasil pemilihan umum (Pemilu) melalui apa yang disebut sebagai “Safari Ramadhan”. Sebagai Ketua Umum DPP Golkar, Harmoko dikenal pula sebagai pencetus istilah “Temu Kader”. Terakhir, ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999 yang mengangkat Soeharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-7. Namun dua bulan kemudian Harmoko pula memintanya turun ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi tampaknya tidak lagi dapat dikendalikan. (Pbm2)



 


TAGS :

Komentar